Manado, 7 Maret 2012.
Aku, dengan nama indah dari orang tuaku,
Dengan kesenangan mengisi Kitab Hidupku dengan goresan-goresan karya dalam sisa-sisa waktuku;
Aku,
Jeane Yosefa Tine.
Inilah Persembahanku,
Untukmu, yang selalu setia dan percaya pada harapan…
Dan engkau, yang ku cinta, Ibu, Ayah, adik-adikku, sahabat-sahabatku, dan kau yang pernah mengisi ruang kalbuku dengan cintamu, dengan khianatmu, dengan dustamu, dengan janjimu, dengan sumpahmu, dengan nistamu, dan dengan celamu...
Kalian semua adalah berkah langit yang lahir dengan nama-nama serta makna keberadaan tertentu. Dengan berbagai kearifan dan bekas jejak tertentu dalam pijak kitab hidupku.
Dari kalian, aku telah belajar dan diajari banyak hal tentang hidup, yang membekaliku berlayar arungi samudra kehidupan ini. Mulai dari pengetahuan tentang cara menentukan arah mata angin, mengukur tekanan gelombang, mengetahui kapan waktu menggulung dan membentangkan layar, kapan waktu menanam jangkar dan melabuhkan kapal serta bersikap awas terhadap cuaca tenang.
Bagaimana dengan usia mudaku, belajar memahami banyak hal tentang hidup ini, tentang apa itu hidup, apa itu mati, apa itu baik, apa itu buruk, apa itu benar, apa itu salah.
Mengalami apa dan bagaimana itu kebahagiaan, apa dan bagaimana itu kesenangan, serta betapa tipis batas antara keduanya.
Yang sepanjang aku belajar memahami hidup ini, tak hentinya aku bertanya dan menanggung rasa heran yang begitu dalam, terutama ketika dalam pencarian, aku menemukan betapa setiap kegelisahan yang aku temukan selalu tidak pernah sungguh-sungguh mampu terjawab. Setiap jawaban yang aku temukan justru memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang jauh lebih banyak dan jauh lebih sulit untuk dijawab.
Akan tetapi, aku tetap percaya..!!
Meski dalam jiwaku yang paling dalam, aku masih bertanya-tanya akan hidup yang sampai saat ini aku alami dan aku saksikan,
Aku tidak akan mudah menyerah..!!
Tuhan telah menyelenggarakan kehidupan ini begitu indah dan sempurna.
Akan tetapi, keindahan dan kesempurnaan hidup bukanlah sesuatu yang telanjang, sebagaimana merahnya “bunga rose”, juga birunya air laut sehingga setiap tangan dan mata , dengan mudah menemukan serta menjangkaunya tanpa harus mengalami kesalahan.
Kesempurnaan itu juga tidak seperti hamparan air di aliran sungai, yang ketika haus , setiap tenggorokan dengan mudah mereguk kesejukannya tanpa berkeringat terlebih dahulu.
Sebaliknya, ia selalu menjadi hamparan “kebaikan” yang tersimpan dalam berbagai selubung halus nan samar serta tersembunyi dalam ketersembunyian paling tersembunyi.
Oleh karena itu, meski terdapat jutaan jalan yang bisa menghantarkan seseorang untuk mencapainya, tetap saja, tidak setiap diri mampu menjadi seseorang yang sungguh-sungguh beruntung mampu berhasil menemukan dan mengakses keindahan dan kesempurnaan hidup yang diberikan Tuhan sejak awal kelahirannya.
Uniknya, kegagalan-kegagalan itu paling banyak justru dialami oleh mereka yang terlihat lahir sebagai diri yang paling bernalar serta begitu banyak mengorbankan hari-hari terbaik dalam hidupnya.
Dengan itu, sering aku bertanya, mengapa Tuhan membuat semua itu menjadi terlihat begitu sulit bahkan hampir-hampir mustahil untuk dicapai.
Dalam diam pun, sering aku bertanya, apa itu selubung halus nan samar, apa itu ketersembunyian dalam ketersembunyian yang paling tersembunyi.
Yang mula-mulanya, aku menggelisahkan hal-hal yang paling dekat dengan hidupku. Mulai dari diriku, Ibuku, atau tentang hubunganku denganmu, dengan mereka, tentang sejarah kita, bahkan masa kecilku. Lalu, ketika jawaban yang ku peroleh tidak memuaskan hatiku, aku pun mulai bertanya tentang berbagai hal yang jauh lebih rumit dan lebih sulit untuk menjawabnya.
“lahir, terlahir, dilahirkan,” begitu kata-kata ini paling sering muncul dipikiranku. Mengapa aku, mengapa kau, serta mengapa Ibu mesti terlahir dan dilahirkan? Untuk apa hidup harus dijalani? Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan ini? Mengapa selalu menjadi sesuatu yang sulit untuk dipahami?
Betapa aku tergoda mengetahui awal hidup yang ada. Bagaimana mesti menjalaninya, menyadarinya, serta mengalaminya? Yang pada suatu ketika, seorang bijak berkata, “Jalanilah hidup ini dengan cara baik”. Kemudian aku bertanya lagi, apa dan bagaimana “baik” yang dimaksudnya itu? Yang sementara telingaku mendengar kata “baik”, aku pun mulai melacak lebih jauh apa dan bagaimana sesungguhnya kebenaran hidup itu?
Mulanya dalam perjalanan hidupku, aku mengira betapa setiap diri sesungguhnya selalu sebagaimana terlihat dan terucap sehingga saat aku bertemu dengan seseorang yang terlihat bersih dalam berpakaian, aku menyangka dia sebagai diri yang sungguh-sungguh baik.
Pun saat aku bertemu dengan mereka yang pandai berkata-kata akan hal yang indah dan bernilai, penilaianku akan dirinya pun meningkat. Aku bukan lagi mengira, sebaliknya mulai meyakini, bahwa dirinya adalah diri yang sungguh-sungguh baik. Lalu, aku pun menyangka betapa setiap diri tidak lain adalah diri yang tulus dan penuh cinta.
Hingga sesuatu hal yang tak pernah ku duga, tiba-tiba datang menimpaku, dan membuatku tersadar, betapa dalam hidup ini, yang terlihat dan yang terdengar, ternyata lebih banyak bukan yang senyatanya, dan bukan yang sesungguhnya. Makin manis seseorang,makin besarlah ia sebagai sesuatu sepenuhnya pahit semata. Makin terlihat baik seseorang, maka makin besarlah pula, kemungkinan bahwa ia justru diri yang sepenuhnya begitu buruk.
Mulanya, senyum ku artikan sebagai tanda hati penuh sukacita. Namun pada perkembangannya, aku mulai mengartikan dengan cara sebaliknya. Begitulah aku yang jatuh dan bangun hingga ratusan kali,menata, menghancurkan, dan membangun berulang kali seorang diri. Patah, memaafkan, kemudian memercayai lagi, lalu hancur kembali.
Suatu ketika, kesunyian mungkin akan mengenangkan tentang diriku. Mengapa ketika semua orang menyebutku batu tak punya hati, sedang senyatanya aku sama sekali bukan batu. Dan sepanjang musim, aku jatuh tenggelam di sungai keraguan dan kepedihan yang begitu panjang dan berliku.
Suatu hari, saat sebuah keindahan hidup datang menghampiriku, aku merasa telah menemukan semua jawaban yang ada, hingga aku merasa begitu puas dan bahagia seketika itu. Namun di hari berikutnya, saat keindahan itu mulai pudar, aku merasa kecewa dan menanggung kepedihan hati tak terkira.
“Adakah jawaban dibalik semua kenyataan ini?” keluhku sepanjang waktu. Jika semua ini memiliki penjelasan, mengapa ia begitu sulit untuk diungkap? Mengapa pula setiap pertanyaan selalu berujung pada pertanyaan? Namun demikian, jika semua ini tidak memiliki penjelasan, maka lantas untuk apa semua ini dijalani?”
Begitulah diriku berulang-berulang bertanya sendiri, berharap sendiri, dan ragu sendiri.
Dan hatiku berbisik: “Jika semua itu telah menimpamu, maka berjanjilah bahwa kau akan tetap terus setia. Sebab, setia adalah pilihan terbaik dalam hidup yang penuh dengan pengkhianatan ini. Perlambat dan perlembutlah dalam melihat segala sesuatu. Sebab, mereka yang tidak tergesa-gesa dan memiliki hati lembutlah yang mampu melihat semua secara benar. Carilah waktu senggang, renungkanlah kesaksian-kesaksian hidupmu, seperti yang kau tulis dalam kitab hidupmu ini. Sungguh kesaksian ini adalah bukti dari kelemahan dan kesalahan dalam menyadari hidup.”
Tidak kuingkari, di saat-saat sulitku, betapa aku berjalan dalam kesendirianku. Tak ada bekal ku bawa ketika menghadapi hidup ini.
Dan mungkin saat ini, kau akan bertanya-tanya pula bagaimanakah adanya aku sekarang, bagaimana kau tak tahu bagaimana secantik dan sebijak apa diriku saat ini…
Namun begitu, apapun yang terlihat, apapun yang kau lihat, meskipun kelihatannya Tuhan tak pernah sungguh-sungguh hadir dalam hidupku, meskipun aku dan kau merasa bahwa di saat-saat sulitku aku hanya berjalan dalam kesendirianku,...
Yang ku percaya, ku yakini, dan ku alami adalah;
TUHAN TIDAK PERNAH TIDAK MENCINTAIKU.
KASIH-NYA PADAKU BAHKAN JAUH MELEBIHI PRASANGKA BAIKMU PADAKU MAUPUN PRASANGKA BAIKKU PADAMU.
Tulisan ini adalah saksi betapa aku ada di dalam Dia, dan Dia di dalam aku.
Sepanjang waktu aku selalu berdoa dan menangis pada-Nya dalam segala kepedihanku.
Tak akan aku berkecil hati, sebab seluruh kebanggaan-Nya telah mengalir dalam diriku.
Aku akan tetap terus belajar untuk menjadi yang lebih tinggi.
Tulisan ini memang bukan cahaya.
Tetapi, aku sungguh menuliskan ini untukku, untukmu, untuk hidupku, dan untuk hidupmu.
Maka, saat semua sudut terlihat kabur, jadikanlah kisahku ini menjadi bara yang membuatmu merasa tidak sendirian.
Masih banyak lagi yang nanti akan ku kisahkan padamu…
Semoga Tuhan senantiasa membimbing hidup kita.
Salam Kasihku,
Jeane Yosefa Tine.